Saturday, May 7, 2011

Bumi Untuk Ragil

Sore itu tidak seperti biasanya Ragil terlihat begitu asik dengan beberapa buku. Padahal biasanya kalau sore seperti ini dia pasti sedang bersepeda di luar bersama beberapa temannya. Ragil adalah adik ku satu-satunya, usia ku dengannya berbeda sangat jauh, 13 tahun. Oleh karena itu, dia menjadi sangat dimanja oleh keluarga ku. Tapi satu hal yang ku suka dari Ragil, sekalipun kami semua memanjakannya, dia sama sekali tidak bersikap seperti anak manja pada umumnya yang terlalu banyak meminta. Usianya 7 tahun, tapi kadang suka berbicara seperti orang dewasa. Yang paling istimewa darinya adalah rasa ingin tahu yang luar biasa terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Sehingga kadang membuat kami repot untuk pencari penjelasan atas semua pertanyaannya.


"Kamu baca apa sih gil?" tanya ku sambil duduk di sampingnya. "Asik banget kayanya." "Agil tadi pinjem buku di perpustakaan, bagus deh kak, buku hewan-hewan", jawabnya sambil menunjukkan buku yang dipegangnya, Serial Hewan Dunia, itu judulnya. "Banyak hewan yang belum pernah Agil lihat nih kak, karena tidak ada di kebun binatang." Seperti biasa pasti setelah ini akan banyak pertanyaan yang dia tanyakan kepada ku. "Lihat nih kak, masa ada hewan yang namanya tokek, lucu ya namanya" sahutnya sambil menunjukan bukunya. "Ini kan seperti kadal yang Agil temukan kemarin di pohon kelapa kita." "Tokek ini memang hewan sejenis kadal gil, kamu mau tau kenapa dinamakan tokek?" Tanya ku. Dengan ekspresi penuh ketertarikan, dia menganguk-angguk. "Tokek ini sudah jarang sekali terlihat, apa lagi di kota besar seperti Jakarta.
Dia dinamakan tokek karena suaranya, gil." "Tok... Ke.. Tok... Ke.." Kata ku sembari meniru suara tokek. "Hahahaa.. Masa sih kak." Tawanya yang khas. "kenapa tokek gak bisa hidup di kota ya kak?" Tanyanya lagi. "Bukannya gak bisa hidup di kota. Coba kamu lihat sekeliling kita, kanan kiri sudah banyak gedung. Padahal tokek itukan hidupnya di tempat yang banyak pohon seperti kebun belakang rumah kakek di kampung." Kata ku mencoba menjelaskan agar Ragil mengerti. "Jadi tempat tinggal tokek hilang karena orang-orang ngebangun rumah dan gedung-gedung besar.” lanjutku menjelaskan kepadanya. ”Kasihannya ya kak tokeknya". Jawabnya dengan nada sedih. "Terus gimana kak, supaya tokek bisa tetap hidup di kota?" Tanyanya lagi. "Mmm... bagaimana ya. Kakak rasa dengan membuat taman yang penuh pepohonan. Jadi selain membangun kota, kita juga harus menyediakan taman-taman yang penuh pepohonan. Dengan begitu, bisa menjadi tempat tinggal hewan-hewan kecil tidak hanya si tokek. Bisa jangkrik, kupu-kupu, tupai, dan lain-lain.” jawabku berusaha menjelaskannya. ”Selain itu, tokek juga dipercaya dagingnya bisa dibuat obat jadi, banyak orang-orang yang menangkapnya untuk dimakan.” ”Ooo... begitu ya kak.” sahutnya. ”Kok orang-orang pada jahat ya kak. Agil kan jadi gak bisa lihat tokek sekarang."

Kami berdua asik melihat-lihat gambar hewan-hewan yang ada dibuku. Sesekali Ragil bertanya kepadaku mengenai hewan-hewan yang sekiranya aneh dan tidak pernah dilihatnya sekalipun di kebun binatang. "Kak, pinguin itu lucu ya. Sayang banget gak ada di Indonesia. Karena dia cuma bisa hidup di tempat yang dingin." Sahutnya sambil menunjukkan gambar pinguin kepadaku. "Iya Gil, pinguin cuma bisa hidup di tempat yang dingin." Sahut ku. "Tapi Gil, kamu harus tahu satu hal, rumah tempat tinggal pinguin pun bisa hilang suatu saat nanti." Kenapa bisa begitu kak?" Tanyanya heran. "Itu semua karena suhu udara yang makin panas. Kamu suka kegerahankan kalau siang hari, dan selalu minta dihidupin AC kalau mau tidur siang?" Ragil mengangguk. Ini lah adik ku dan ku benar-benar senang melihat ekspresi rasa ingin tahu yang besar dari wajahnya. "Pinguin itu tinggalnya di daerah kutub gil, tempatnya dingin karena penuh es. Tapi suhu udara yang panas yang terus menerus bisa mencairkan es di tempat tinggal pinguin suatu saat nanti. Coba kamu tebak apa yang terjadi kalau es nya mencair?" Tanya ku memancil Ragil untuk berpikir. "Pinguin nya gak punya tempat tinggal, nanti bisa mati dong kak, Kasihan kaaak..." Jawabnya. "Trus gimana dong kak supaya udara gak panas, pinguin kan gak punya AC kaya kamar Agil." Aku tersenyum mendengar ucapan adik ku yang lucu ini. "Pohon Gil, yang bisa bikin suhu udara gak makin panas. Kamu masih ingatkan kalau menginap di rumah kakek, kita suka tidur-tiduran siang di bawah pohon cuma pakai tiker. Rasanya sejuk kan?" "Iya kak benar, rasanya enak banget buat tidur siang hehehee..." Jawabnya sambil tersenyum. "Ooo... Pantas ya kak di sekolah Agil, bu guru suka meminta Agil dan teman-teman membawa pohon untuk ditanam di taman sekolah." Cerita Ragil bersemangat. "Tapi ada juga teman Agil yang bandel gak bawa pohon. Kalau gitu nanti Agil kasih tau mereka deh kenapa kita harus rajin tanam pohon. Kan sayang kalau nanti hewan-hewan pada mati. Padahal Agil kan mau melihat dan pegang, pasti seru."

Melihat Ragil yang bersemangat untuk hewan-hewan yang baru dilihat di bukunya itu, aku senang. Setidaknya aku bisa menanamkan sifat menyayangi dan peduli pada bumi ini kepada adik ku yang masih kecil. Dengan dorongan semangatnya yang menyayangi hewan, mungkin bisa membuat dia dan mudah-mudahan teman-teman seumurannya untuk bisa lebih peduli. Aku yakin seperti biasa Ragil pasti tidak sabar ingin bercerita kepada teman-temannya mengenai pembicaraan kita ini. “Sudah Sore nih Gil, mandi sana mau ikut kakak ke swalayan gak nanti.” Kataku berusaha menyudahi pembicaraan kami. Karena jika tidak dihentikan akan banyak lagi pertanyaan yang akan dilemparnya kepada ku.

Ternyata pembicaraan kami mengenai hewan-hewan masih berlanjut, di sepanjang perjalanan kami menuju swalayan, Ragil tidak henti-hentinya membicarakannya. Sepertinya masalah kepunahan hewan menjadi topik hangat dipembicaraan kami. Sesekali anak kecil ini mengeluarkan ekspresi marah dan sesekali dengan ekspresi sedih atau kecewa. “Kak, kemarin waktu Agil pergi sama mama ke mall, Agil lihat baju dari kulit macan loh. Kata mama itu benaran dari kulit macan. Kasihan ya kak macannya dibunuh untuk diambil kulitnya. Terus… terus… waktu mampir ke toko barang antik langganan papa, papa ditawari pajangan. Katanya itu asli dari gading gajah kak, untung papa gak beli. Kan kasihan ya kak. Terus kalau gajah sama macannya nya habis, nanti Agil lihat apa dong kak kalau kita jalan-jalan ke kebun binatang lagi?” cerita Ragil dengan penuh kekecewaan. “Kamu gak usah khawatir Gil, hewan-hewan di kebun binatang itu semuanya dilindungi dan dirawat dengan baik kok di sana. Gak cuma gajah dan macan, yang lainnya juga.” Aku berusaha menghiburnya. Walaupun aku sendiri tidak bisa memberikan jaminan yang pasti kepada Ragil, apakah hewan-hewan yang ada sekarang masih bisa ditemui beberapa puluh tahun kedepan. Atau ternyata dia hanya bisa bercerita kepada anak-cucunya kelak.

Keesokan harinya….

Sudah menjadi rutinitas bagi kami setiap 2 atau 3 bulan sekali berekreasi ke pantai dihari minggu, mana lagi pantai di kota Jakarta kalau bukan Pantai Ancol. Setiap minggu pagi Pantai Ancol ramai sekali oleh pengunjung, baik yang ingin berenang di pantai, bersepeda, atau hanya duduk-duduk di pinggir pantai. “Kak lihat deh, itu pohon kelapanya tumbuh di pantai.” Kata Ragil sembari menunjuk ke salah satu pohon kepala yang sudah menjorok ke pantai. “aneh ya kak.” Aku tersenyum mendengar ucapan adik ku. “Gil, coba kamu lihat batu yang ada di sana? Tadinya waktu kakak masih seumur kamu air pantai adanya di batu itu. Kamu masih ingetkan cerita kakak kemarin soal suhu udara yang panas bisa mencairkan es di tempat tinggal nya penguin?” tanya ku. Ragil mengangguk dengan ekspresi serius. “Nah, karena es di sana mencair sedikit demi sedikit karena suhu yang makin panas. Jadinya air laut makin banyak. Itu alasannya kenapa air laut sampai ke pohon itu sekarang.” Jelasku kepada Ragil dengan harapan dia mengerti maksud ku. “wah bahaya dong kak.” Sahut Ragil tiba-tiba. “Kenapa bahaya?” tanyaku heran. “Nanti kalau Agil uda gede, seumuran kakak. Bisa-bisa air lautnya uda sampai ke restoran itu dong.” tunjuk Ragil ke arah restoran fastfood yang letaknya tak jauh dari tempat kami duduk-duduk. “hahahaaa… bisa jadi Gil, makanya kita harus menjaga bumi ini biar gak makin panas. Salah satunya dengan perbanyak menanam pohon, hemat energi seperti listrik. Mmm…… Buang sampah pada tempatnya itu juga harus Gil.” “Ok kak, Agil bakal inget deh.” Jawabnya dengan senyam-senyum. “Kita berenang yuk kak.” Ajaknya kepadaku sembari menarik tangan ku.

Padahal masih banyak lagi hal-hal yang sudah berubah dari sejak aku seumuran Ragil sampai sekarang ini. Belasan tahun adalah waktu yang singkat untuk membandingkan perbedaan tersebut. Bumi makin padat, asap karbon yang terus bertambah karena aktifitas manusia, suhu udara yang makin panas, banjir yang mudah terjadi dimana-mana, begitu pula bencana lainnya seperti gempa. Kekecewaan terhadap hewan-hewan yang baru dikenalnya hanya sebuah hal yang kecil. Mungkin Ragil akan lebih kecewa lagi kepada kami, manusia-manusia yang lebih dulu lahir di dunia ini, karena sengaja atau bisa jadi tanpa sengaja telah merusak bumi yang baru dikenalnya.

Masih tegakah kita berantipati terhadap lingkungan kita? Jika Ragil punya keinginan yang besar untuk menjaga Bumi demi hewan-hewan yang dia sukai. Apakah kita sebagai orang-orang yang sudah lama hidup di bumi ini masih sanggup menutup mata.

#tindakan sekecil apapun sangat berarti besar untuk bumi ini. Go Green…..